Biografi Penulis

Foto saya
Kandangan, Kalimantan Selatan
Sebagai penikmat sastra dan seni, hidup saya semakin lebih berwarna

Sabtu, 20 Maret 2010

Surat Cinta Buat Iblis!

Oleh ; Kayla Untara

“Bangsat!..”
Awan gelap menggayut di atas sebuah negeri yang sedang dilanda kekakacauan luar biasa. Keadaan dimana korupsi dijadikan ajang bagi-bagi rezeki, menggerogoti di segala dimensi dan instansi. Belum lagi kekerasan yang sering terjadi, beda pendapat sedikit, biasa saling tungkih dan riwas, memercikan api peperangan. Masalah sengketa tanah dan lahan menyebabkan parang bicara hingga memercik darah saudara sendiri. Saat ini, musim pemilukada menambah semarak kekacauan negeri. Agama dijadikan senjata meraih suara. Calon pemimpin kehilangan logika, senang mengiring dan mengarahkan massa dengan bayaran sejumlah angka. Seniman dan budayawan tak ketinggalan, dengan beringasnya menusukan mata pena ke leher para penguasa. Demikian pula para akademisi, para ahli, dosen dan para petinggi, semua terjangkit penyakit khianat, tak ada lagi pengabdian dan pengorbanan kepada masyarakat.

Anak sekolah dan mahasiswa lebih senang mengobarkan tawuran ketimbang duduk manis menimba ilmu. Di gedung dewan lain lagi, lebih sering debat yang diakhiri dengan jotosan dan celaan terhadap anggota lainnya. Sidang-sidang, rapat-rapat, diskusi-diskusi semacam arena baru dalam dunia tinju. Huh! Para ulama dan pemuka agama asyik dengan dunia mereka sendiri, tak mau tahu atau memang tak tahu malu… mau-maunya dijadikan tameng sebuah ambisi akan kekuasaan dan jabatan. Sebagian yang lain, terbius akan ibadahnya sendiri, tak menghiraukan dakwah sebagaimana tugas yang diembannya melalui gelarnya sebagai ulama atau pemuka agama.

Kejahatan merajalela, sungguh dunia sedang dilanda kecemasan. Sinetron murahan di layar kaca yang hanya pamer aurat, belahan dada, mulusnya batang paha, konser puting susu, dan segala macam ekploitasi meracuni sudah menjadi santapan setiap hari. Nah, didukung pula oleh acara infotainment selebritis yang lebih banyak bicara aib dan pernak-pernik lainnya ketimbang karya dan dedikasi. Reality show menambah haru biru, ajang cari jodoh versi baru ikut pula mewarnai. Yang parah, narkoba bagi anak muda dijadikan trend dan identitas sebagai anak kota dan cap modern. Parah!

Penggusuran pedagang kaki lima jadi makanan tiap hari. Kaum intelektual sibuk bertandang ke negeri seberang sebab di sana kentutnya lebih dihargai dan dijunjung tinggi, ketika memuntahkan kritik terhadap kondisi tanah airnya, eh, malah mendapat piala dan medali. Semakin tinggi penghargaan yang diberikan, semakin sering dan intensif pula mengorek pantatnya sendiri, menunjukan betapa baunya bangsa dan negerinya. Sebab negeri sendiri tak mampu memberikan medali, mending cari di negeri lain. Saya perlu hidup dan menikmati dunia, seperti itulah yang ada di kepala mereka.

“…Bangsat!!!” umpatku lagi. Pikiranku yang sedari tadi merawang mencoba merangkai serpihan peristiwa beberapa tahun terakhir ini… Beribu pertanyaan membuncah di otakku. Berbagai macam laku dan liku keadaan yang hampir membuatku gila.
“Mengapa ini bisa terjadi?” tanyaku konyol terhadap diri sendiri.

Mataku sembari menatap berita tentang kerusuhan di sebuah pertandingan sepak bola. Pecah tawaku seketika itu pula, teringat ucapan yang sering dilontarkan pelatih atau official klub ketika pemainnya ada yang cerdera. Tiap kali, pasti ada cedera ringan, pastilah yang dislahkan urat! Hahahahaaha… begitu kasihan si urat yang selalu disalahkan, padahal urat tak pernah membuat salah apapun pikirku. Salah urat itu! Urat disalahkan! Manusia selalu memvonis terlalu cepat!

Tawaku reda ketika otakku mulai memasuki dunia tanya sebelumnya. Tiba-tiba aku terpikirkan suatu jawaban sederhana yang lengah dari otakku selama ini. Dan kalimat itu pun kumuntahkan. “Ini pasti salah Iblis dan anteknya setan!!! Pasti salah mereka!”.

Kita tahu bahwa Iblis dan anteknyalah yang bertugas untuk mengacaukan dunia sejak dikeluarkan Tuhan dari istana Syorga. Iblislah yang juga menginginkan manusia lebih hina dari binatang. Mereka ada dimana manusia itu sendiri ada. Dan selama manusia ada, maka mereka pun tetap gencar melakukan hasutan dan bisikan jahat serta licik mereka. Walau ada yang berkata bahwa Iblis adalah sebuah karunia, dikarenakan mereka ada dan dicipta bermakna untuk menguji keimanan dan perdaban manusia. Dimana sering dan terlalu banyak manusia yang mengklaim dirinya adalah manusia paling beriman, namun tanduk nyala neraka tumbuh di balik topengnya. Musang berbulu domba. Parahnya, mereka yang seperti itu malah lebih beruntung. Yang jelas dunia dalam genggaman mereka. Dosa yang membuat mereka berlimpah harta, kekuasaan menambah pundi kekayaan, sementara mereka yang menyatakan perang dengan Iblis malah terpinggirkan! Jangkrik!

Iblislah yang menyebabkan kekacauan negeri ini, pikirku. Meski kita tak pernah melhat rupa dan wujudnya, namun kita yakin bahwa Iblislah sumber dari segala sumber kebusukan dan kejahatan di dunia. Kekacauan negeri ini pun salah Iblis lakhnat, kita mesti dan wajib untuk menghancurkan kerajaan hitamnya yang dengan segala cara membuat malapetaka di dunia. Sejak adam diciptakan dan dijadikan penghuni bumi, maka Iblis berperan sebagai sosok antagonis dalam panggung dunia. Tak terhitung hujatan, cacian, makian dan celaan kita lontarkan. Hinaan dan kutukan pun tak luput dari tiap perkataan kita ketika menyebut nama Iblis. Semua itu kita lakukan hanya lewat suara jauh, dan gema yang sama bisa terdengar. Sepertinya sudah cukup buang-buang energi dan liur basi, apalagi disaat krisis multidimensi saat ini, dimana penghematan energi dicanangkan di seluruh dunia. Dengan keadaan bumi yang semakin tua, seperti terlalu terlambat memang, taka apa terlambat dari pada tidak sama sekali.

Otakku mulai bekerja, bagaimana menghadapi ini semua. Iblis adalah makhluk yang lihai dan cerdik. Kurasa sudah saatnya kita mengganti strategi. Ketika sikap konfrontasi tak bisa kita lakukan, maka ada opsi yang memungkinkan dikerjakan.

“Bagaimana jika Iblis kita sapa dengan sopan, hormat dan sanjungan?” tanyaku pada otakku.

“Pilihan yang bagus, setelah itu bagaimana?” otakku bertanya balik.

“Kita bersiasat, kita jadikan kawan akrab, kita berikan suatu kerjasama saling menguntungkan dan gencatan senjata. Tapi semua itu hanya basa-basi, setelah Iblis menjadi jinak, maka kita bekuk beramai-ramai, kemudian kita bunuh dan akhiri. Maka anteknya pun akan mati. Sebab jiwa Iblis menyatu dengan para anteknya setan, jika kita bunuh Iblis, maka setan pun akan mati…” aku berusaha merencanakan siasat.

“Jadi, maksudmu kita akan melakukan negosiasi dan berkoalisi? Setelah itu kita buat mati?”

“Ya., Seperti itu. Setiap kontra dan hal lainnya yang di luar keinginan kita, maka aku akan berusaha untuk berkolaborasi demi mendapatkan hati si Iblis…, tapi ingat itu semua hanya basa-basi… kita jadikan Iblis semacam besan, maka Iblis akan mencintai manusia” harapku.

“Selanjutnya? Langkah kau pertama?”

“Sebagai awal, malam ini akan aku buat surat teruntuk Iblis, menyampaikan tawaran-tawaranku dan ajakan untuk berkoalisi, besok pagi akan kukirimkan…” terangku mantap.

***

Malam ini, ingin kutuliskan surat kepada Iblis yang sering mengganguku. Seketika kudekati tuts keyboard komputerku. Dan aku mulai menuliskan surat itu kepadanya.

Kepada ;
Yth. Iblis!
Di –
tempat

Dengan hormat dan salam cinta.

Wahai kawan sejati Iblis baik hati yang entah kini berada di mana,
Aku menyampaikan salam hormat dan pengahargaan yang luar biasa karena kehadiranmu dalam tiap jejak langkahku. Dengan penuh cinta kutawarkan sebuah genjatan senjata. Mari kita akhiri peperangan yang selama ini kita jalin, kita sudahi segala permusuhan, mari kita melangkah bersama dalam derap sepatu yang sama. Mari kita bersama menyongsongsong masa depan, demi kemapanan dan masa depan anak cucu kita hingga akhir jaman.

Wahai kawan sejati Iblis yang baik hati.
Selama ini kita saling curiga mencurigai, iri dengki, dan saling benci namun semua itu tak menghasilkan sesuatu yang memadai. Berapa banyak energi kita yang terbuang dengan menebarkan aroma peperangan. Harga yang selama ini kita terima terlalu mahal dan tidak produktif dibanding dengan kerugian kita selama ini, selama saling bermusuhan. Saya berfikir dan sekaligus menawarkan sebuah solusi, bagaimana kalau kita akhiri saja? Mari kita berkoalisi, membangun sebuah kebersamaan dengan perjanjian yang tentu pula juga saling menguntungkan. Setiap kebijakan dan laba yang akan kita terima tentu pula kita bagi rata, bahkan andaikata kau memilih lebih besar dari keuntungan kami pun, itu bisa kami terima

Wahai Iblis yang baik hati,
Kurasa tawaran untuk berkoalisi ini adalah tawaran yang patut kita laksanakan, sebab sudah terlalu lelah permusuhan kita abadikan dalam dunia ini.

Demikian surat tawaran saya. Kutunggu balasan suratmu secepatnya, Iblis!

****

Begitu mentari menyalak di antara selangkang dedaunan dan embun pagi sisa kabut dini hari, kumasukkan suratku tanpa membubuhkan nama, prangko ataupun alamat. Kuyakin pak pos pasti lebih tahu dikemanakan surat ini diantar. Kalo toh pak posnya bingung dua belas keliling gak ketemu juga alamat, maka aku yakin Iblis sendiri akan mengambil terlebih dahulu, sebab Iblis tahu yang mesti dilakukan. Wong dia Iblis! Ya iyalah… Iblis namanya!

Sikap tunggu pun kulakukan. Sehari, dua hari, berhari-hari. Berminggu-minggu, berbulan bulan, tembus angka setahun, dua tahun, lima tahun, dua puluh tahun, seratus tahun pun akan kutunggu dan kunanti. Ternyata surat balasan tak kunjung tiba. Tiba-tiba, kepanikan menyergapku dalam bahasa diamnya.

“Jangan-jangan dia menolak tawaran koalisiku? Atau jangan-jangan, Iblis tahu bahwa itu hanya merupakan siasat licikku? Jangan-jangan….” Berjuta prasangka yang timbul dari sebuah kecemasan mulai beterbangan mengitari di sekeliling kepalaku…
“Bukankah setan mengetahui isi hati setiap orang? Bangsat! Kenapa aku lupa hal itu?” Sesal mulai melanda menambah ketakutanku menggurita.

Aku takut Iblis akan marah jika memang dia telah mengethaui siasat busukku, kemudian membunuh nuraniku dengan ganas hingga akhirnya menengelamkanku hingga dasar jurang kenistaan. Ah!

“Betapa idiotnya aku!” bentakku.

Kukunci rapat segala pintu, setiap ada kendaraan yang berhenti di depan rumah, rasa takut yang luar biasa mulai menyergapku, rasa panik bercampur pengecut semakin menggila tatkala kulihat di luar lewat balik kaca jendela. Kegilaanku dan ketakutanku semakin menjadi-jadi. Akhirnya kucoba mengatasi dengan menelan pil-pil ekstasi dan morfin serta shabu-shabu. Semua sia-sia, yang ada hanya membuatku bertambah semakin gila!

“Aku tak tahan lagi!” pikirku.
Dengan sisa kepingan keberanian yang kumilki, aku memutuskan untuk menemui psikiater. Satu, dua, tiga, dan banyak lagi tak sanggup untuk mengobati rasa takut dan ganguan emosionalku. Yang mereka muntahkan hanya kalimat dan nasehat-nasehat basi! Kucoba menemui ulama dan pemuka agama, tak kunjung reda walaupun aku minum dengan air do’a. Kusambangi sekian paranormal dan tabib, mantra-mantra pun tak berguna. Kuputuskan, lebih baik aku kembali ke rumah sebelum semua orang melihat pucat wajahku.

Di rumah, aku mengambil jalan terakhir, mengadu pada yang Maha.

“Tuhan, Aku tak tau kemana lagi mesti mangadu. Aku adalah juga ciptaanMu, bukankah kau mencintai setiap ciptaanMu? Bukan maksudku untuk memerintahMu, tapi kuminta hilangkan rasa takutku ini, Tuhan, jangan biarkan amarah Iblis menggangguku dan memenangkan siasat kali ini. Aku bersumpah, jikalau manusia kau jadikan sebagai pemenang, maka dunia ini damai tanpa ada kekacauan di dalamnya. Biarkan kami temukan Syorga di dunia sebelum nyata menjelma baka. Karena karuniaMu saja hal itu bisa terjadi, ya Tuhan.”

Untaian kata yang kususun dalam cawan do’a rupanya cukup menangkan pikiranku. Aku berusaha untuk lebih mengatur emosi dan pasrah dengan keadaanku saat ini. Ketakutanku telah menumbuhkan keberanian baru, ide-ide cemerlang bermunculan dikarenakan proses berfikirku tadi. Ketakutan juga kurasa merupakan sebuah karunia demi sebuah pembelajaran akan sebuah penemuan yang namanya keberanian hingga nantinya mempengaruhi peradaban. Tiba-tiba, pintu di ketuk. Ku intip, pak Pos datang!

“Ada surat buat anda…” katanya beriring senyum sembari menyodorkan surat dengan amplop kusut. “mohon diterima dan tandatangan disini..” lanjutnya sambil menyodorkan lembaran kertas entah apa.

Dengan sekejab, dadaku dan otakku plong begitu saja. Tak terkira rasa syukur muncrat dari bibir dan hatiku. Akhirnya…
“Kesabaran membuahkan hasil yang menyenangkan…” ucapku lirih dalam gumam.
Rasa penasaranku meletupkan keinginan untuk segera menyobek dan membca isi surat itu. Dan akhirnya kubaca.

Dengan hormat dan salam cinta.

Wahai kawan sejati Iblis baik hati yang entah kini berada di mana,
Aku menyampaikan salam hormat dan pengahargaan yang luar biasa karena kehadiranmu dalam tiap jejak langkahku. Dengan penuh cinta kutawarkan sebuah genjatan senjata. Mari kita akhiri peperangan yang selama ini kita jalin, kita sudahi segala permusuhan, mari kita melangkah bersama dalam derap sepatu yang sama. Mari kita bersama menyongsongsong masa depan, demi kemapanan dan masa depan anak cucu kita hingga akhir jaman.

Wahai kawan sejati Iblis yang baik hati.
Selama ini kita saling curiga mencurigai, iri dengki, dan saling benci namun semua itu tak menghasilkan sesuatu yang memadai. Berapa banyak energi kita yang terbuang dengan menebarkan aroma peperangan. Harga yang selama ini kita terima terlalu mahal dan tidak produktif dibanding dengan kerugian kita selama ini, selama saling bermusuhan. Saya berfikir dan sekaligus menawarkan sebuah solusi, bagaimana kalau kita akhiri saja? Mari kita berkoalisi, membangun sebuah kebersamaan dengan perjanjian yang tentu pula juga saling menguntungkan. Setiap kebijakan dan laba yang akan kita terima tentu pula kita bagi rata, bahkan andaikata kau memilih lebih besar dari keuntungan kami pun, itu bisa kami terima

Wahai Iblis yang baik hati,
Kurasa tawaran untuk berkoalisi ini adalah tawaran yang patut kita laksanakan, sebab sudah terlalu lelah permusuhan kita abadikan dalam dunia ini.

Demikian surat tawaran saya. Kutunggu balasan suratmu secepatnya, Iblis!

Seketika nyala tanduk neraka tumbuh di kepalaku…

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar